8 Jun 2019

Analisis TAP MPRS Tahun 1966 Tentang Partai Komunis Indonesia

| |

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
”Analisis TAP MPRS Tahun 1966 Tentang Partai Komunis Indonesia"
.
.
.
.
.
Disusun oleh :
Yulia Frina Annur

Program Studi Manajemen
Tahun 2018/2019




KATA PENGANTAR

   Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta tidak lupa untuk berterimakasih dengan dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kami Ibu Ratna Suryani, S.Psi.,M.Si  sehingga makalah tentang ”Analisa TAP MPRS Tahun 1966 tentang Partai Komunis Indonesia”  ini dapat terselesaikan dengan baik.
   Penyusunan makalah ini didasarkan untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai mahasiswa dan memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
    Dalam penyusunan makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Terima kasih.

                      Banjarnegara, 20 Oktober 2018


                       Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan berlaku di Indonesia. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
      Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat (1) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum yang sah. Namun di dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dicantumkan TAP MPR. Tidak dicantumkannya TAP MPR ini bukan berarti keberadaannya tidak diakui. Namun norma daripada TAP MPR masih diakui sebagai produk hukum sepanjang tidak dinyatakan tidak berlaku lagi atau digantikan dengan UU yang lain.
       Di masukannya kembali TAP MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No.12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan, merupakan suatu bentuk penegasan bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem Perundang-undangan Indonesia. Dengan dicantumkannya kembali TAP MPR ke dalam hierarki, sebagai konsekuensi karena masih banyak TAP MPR yang masih berlaku. Sehingga dengan masuknya kembali ke dalam hierarki secara hukum kekuatannya lebih kuat dibanding sebelumnya.
      Salah satu TAP MPR yang masih tetap berlaku dan diakui sampai saat ini adalah TAP MPRS (Sementara) Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
        TAP MPRS No. XXV/1966 adalah produk Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dengan maksud untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno dengan konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. TAP MPRS ini lahir sebagai legitimasi pembubaran PKI dan pelarangan terhadap Marxisme-Leninisme yang diklaim sebagai ideologi dari PKI.


B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa isi TAP MPRS No.XXV/1966?
2. Bagaimana kedudukan TAP MPRS                  No.XXV/1966 untuk membubarkan PKI?
3. Mengapa PKI harus dibubarkan?

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui isi TAP MPRS No.XXV/1966
2. Mengetahui kedudukan TAP MPRS                  No.XXV/1966 untuk membubarkan PKI
3. Mengetahui sebab PKI harus dibubarkan


BAB II
PEMBAHASAN

     PKI adalah salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia. PKI dibentuk pada tanggal 23 Mei 1929. Partai Komunis Indonesia adalah sebuah partai politik di Indonesia yang telah lama bubar. Sebelum akhirnya PKI dibubarkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang. PKI merupakan partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Cina.
    PKI muncul dipanggung politik Indonesia setelah menyerahnya Jepang pada sekutu pada tahun 1945. PKI kemudian berperan aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama yang bernama Front Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI. Partai ini kemudian terus bertumbuh besar hingga akhirnya dibubarkan pemerintah karena peristiwa G30S/PKI.
    Isi dari Keputusan Presiden tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah beserta semua organisasi yang seasas, berlindung, dan bernaung di bawahnya.
Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
      Keputusan Presiden untuk pembubaran PKI tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September. Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPRS/XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
      Isi TAP MPRS Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1996 :
“Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme” 
     Dengan dibubarkannya PKI berarti upaya pengalihan atau perebutan kekuasaan dari Soekarno akan semakin mudah. Soeharto berusaha untuk memisahkan Soekarno dengan orang-orang terdekat dan pendukungnya yang setia. PKI itu pendukung Soekarno. PKI dibubarkan bukan karena ideologinya tapi karena partai yang mendukung Soekarno. Anggotanya mencapai 3 juta orang, artinya 3 juta pendukung Soekarno itu sudah bubar.
     Upaya menghabisi kekuatan Soekarno bisa dilihat di serangkaian peristiwa pada tanggal 18 Maret 1966 , Soeharto atas nama Soekarno mengeluarkan perintah penahanan sementara terhadap 15 menteri yang setia pada Soekarno. Menteri yang ditahan itu adalah Oe Cu Tat, Setiadi Reksoprodjo, Sumarjo, Soebandrio, Chairul Saleh, Soerachman, Yusuf  Muda Dalam, Armunanto,Sutomo Martiprojo, Astrawinata, Mayjen TNI Achmadi, Moch Achadi, Letkol Inf Imam Syafei, J.Tumakaka, dan Mayjen TNI Sumarmo. Penahanan tersebut dilakukan karena ada sejumlah demonstran menuntut perombakan kabinet. Mereka menduga ada beberapa menteri yang terindikasi terlibat peristiwa G30S dan dekat dengan PKI. Menteri-menteri tersebut ditangkap dan diserahkan ke Makostrad. Sesudah itu, Soeharto melakukan pembubaran pasukan pengawal Tjakrabirawa. Mereka dipulangkan ke daerah masing-masing pada 20 Maret 1966. Pemulangan itu dilakukan terhadap 4 batalyon dan satuan detasemen sekitar 3000 sampai 4000 pasukan.
       Orde baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan dalih G-30S untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno yang terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan Marxismenya. Bagi Soekarno, persatuan 3 ideologi ini bisa menghasilkan kekuatan. Peristiwa G30S pada tahun 1965 memakan korban jiwa dengan terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira pertama. Peristiwa inilah yang kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto. Soeharto lalu membubarkan PKI dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 1/3/1966. Langkah ini merupakan kebijakan pertama Soeharto setelah menerima Surat Perintah 11 Maret sebagai upaya mengembalikan stabilitas negara. Pada tanggal 12 Maret 1966, dengan mengatasnamakan Soekarno melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembubaran PKI ini termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang satu asas atau berlindung di bawahnya serta pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia.
     Soeharto menggunakan G-30-S sebagai alasan untuk mengambil alih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan sebagai kudeta merangkak karena dilakukan lewat selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai kudeta. Kemudian Soeharto membesar-besarkan G30S sebuah aksi pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan besar dalam pemerintahan Soekarno. Dengan ini, Soeharto menuduh PKI dalang dari G30/S. Selanjutnya Soeharto menangkapi sekitar satu setengah juta orang yang dituduh terlibat dalam G30S. Ratusan ribu dibantai oleh Angkatan Darat kemudian, sementara menurut pengakuan Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan pembantaian, tiga juta orang yang dibantai.
Yang menarik adalah produk Undang-Undang yang lahir sebagai legitimasi pembubaran PKI dan pelarangan terhadap Marxisme dan leninisme yang diklaim sebagai ideologi dari PKI. Dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang menggambarkan kondisi politik pada masa itu.

Pasal-Pasal TAP MPRS no. XXV/MPRS/1966 :
Pasal 1 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.
Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut dilarang.
Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas , paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.
Pasal 4 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
Ketentuan-ketentuan di atas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia

     Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal. Demokrasi Terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer yang ingin membatasi pengaruh partai-partai politik, khususnya PKI. Dengan digantinya, UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak bertanggungjawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan leluasa memecat para menteri, dengan ini maka pengaruhnya menjadi terbatas.
       Dasar pertimbangan dari TAP MPRS No. XVV/MPRS/1966 adalah :
Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakikatnya bertentangan dengan Pancasila.
Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang mengatur paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.
      Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme
  Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme dipertentangkan dengan Pancasila dalam proposisi yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Proposisi kedua berisikan tuduhan bahwa PKI dalam sejarah Republik Indonesia beberapa kali berusaha menjatuhkan pemerintahan RI yang sah dengan jalan kekerasan. Fakta atomik yang ditonjolkan dalam dalam kedua proposisi yang menjadi dasar pertimbangan penetapan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, hanyalah tuduhan bahwa PKI beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintahan RI yang sah dengan jalan kekerasan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dengan usaha delegitimasi terhadap pemerintahan yang sah yang dilakukan oleh kelompok lain seperti Pemberontakan PRRI, yang berlanjut menjadi perang penumpasan lewat operasi militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Nasution selama dua tahun, yang menewaskan ribuan korban jiwa dari kedua belah pihak. Bagaimana juga dengan pemberontakan Darul Islam yang mengangkat senjata melawan pemerintah, yang kemudian diampuni Soekarno kecuali pucuk pimpinannya.
     TAP MPRS No. XXV/1966 secara hukum bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (3) yang ditulis dalam poin “mengingat” pada TAP MPRS No.XXV/1966 yang menjadi representasi dari rakyat, dan berhak membuat keputusan dan UU atas nama rakyat adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
      Tindakan Soeharto yang membubarkan PKI dengan menggunakan dasar Supersemar juga kontradiktif. Memang dalam Supersemar terdapat proposisi majemuk yang menjadi perintah dari Soekarno kepada Soeharto yaitu, “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi”, tetapi dalam proposisi majemuk tersebut terdapat proposisi anatomik, “dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”. Ketika itu hanya terdapat satu Pemimpin Besar Revolusi yaitu Soekarno/Bung Karno. Dalam ajaran Bung Karno tidak terdapat perintah untuk membubarkan organisasi yang menganut ideologi Komunisme karena Soekarno sendiri menginginkan persatuan antara tiga pandangan hidup yang dominan dalam bangsa Indonesia saat itu, yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Konsep NASAKOM yang dikemukakan Bung Karno adalah manifestasi dari gagasannya tentang persatuan antara tiga ideologi tersebut.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari analisis terhadap dua dokumen bersejarah itu bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut :
TAP MPRS No. XXV/1966 adalah cacat hukum atau inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Surat Perintah Sebelas Maret yang menjadi dasar kemunculannya.
Fakta anatomik yang bisa dilihat dari TAP MPRS No. XXV/1966  adalah manipulasi konstitusi, dan perusakan terhadap nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila seperti nilai kemanusiaan, dan keadilan. Karena dengan kemunculan ketetapan ini pembantaian secara besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh sebagai komunis terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
TAP MPR Nomor I/MPR/2003  tentang keputusan bahwa TAP MPRS No. XXV/1966 tetap dinyatakan berlaku adalah tidak sah dan kontradiktif, karena proporsi “kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia’, adalah kontradiktif dengan pelanggaran sebuah ideologi yang dalam hal ini adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Karena pelanggaran terhadap ideologi adalah salah satu wujud tindakan anti demokrasi, dan melanggar hak asasi manusia.

SARAN
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, silakan sampaikan kepada kami.
Apabila terdapat kesalahan mohon dapat dimanfaatkan dan memakluminya karena keterbatasan ilmu yang kami miliki. 


By : Yulia Frina Annur
studying08.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Pages

Followers

  • Recent Comments

 

Designed by: CompartidĂ­simo
Images by: DeliciousScraps©